Remaja Perempuan Masih Berjuang dengan Kesehatan Mental Sejak Pandemi

ilustrasi – Pada Survei Perilaku Risiko Remaja tahun 2023, menunjukan sebanyak 40% mengalami perasaan sedih atau putus asa yang terus-menerus.(freepik)

DIBANDINGKAN dengan satu dekade lalu, remaja, khususnya anak perempuan, cenderung mengatakan merasa sedih dan putus asa, serta berpikir untuk mencoba bunuh diri, menurut sebuah laporan baru. Data itu menunjukkan keadaan mungkin sedikit membaik sejak pandemi.

Sebuah laporan yang dilakukan selama tiga dekade oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), terkait Survei Perilaku Risiko Remaja, yang melibatkan siswa sekolah menengah Amerika, menunjukkan adanya peningkatan dua poin dalam presentase, di mana para siswa mengalami perasaan sedih atau putus asa secara terus-menerus dari tahun 2021-2023. 

Pada 2023, sebanyak 40% siswa yang menjawab survei mengatakan, mereka mengalami perasaan sedih atau putus asa yang terus-menerus. Presentase itu telah turun dari angka tertinggi sebesar 42% pada 2021. Jika dibandingkan 10 tahun lalu, presentase tersebut masih lebih tinggi sekitar 10 poin.

Baca juga : Remaja Perempuan Rentan Alami Gangguan Dismorfik Tubuh

Selain itu, dari hasil survei itu juga menunjukkan 20% dari mereka mengatakan mereka serius mempertimbangkan untuk bunuh diri. Lalu, 9% mengatakan mereka telah mencoba bunuh diri. Angka presentase ini turun dari angka tertinggi 10%  tahun 2021, tetapi masih lebih tinggi 8% dibandingkan tahun 2013.

Kemudian, putaran survei terakhir diselesaikan lebih dari 20.000 siswa di kelas 9-12  dari sampel perwakilan nasional sebanyak 155 sekolah.

“Angka-angka menunjukkan kaum muda kita menderita, dan kita mengalami krisis kesehatan mental,” kata Dr. Jill Emanuele, wakil presiden, Pelatihan Klinis di Child Mind Institute di New York City. Ia tidak terlibat dalam survei tersebut.

Baca juga : Kesehatan Mental Anak dan Remaja Faktor Penting Wujudkan Indonesia Emas 2045

Ketika peneliti memisahkan angka berdasarkan jenis kelamin, gambarannya sangat berbeda. Pada 2013, anak perempuan yang merasa sedih dan putus asa secara terus-menerus sebanyak 39% dan 21% untuk anak laki-laki. Sementara untuk saat ini, lebih dari separuh anak perempuan atau 53% anak perempuan mengatakan mereka merasa sedih atau putus asa secara terus-menerus dibandingkan dengan 28% anak laki-laki. 

“Anak perempuan jelas lebih banyak berjuang,” kata Emanuele, yang juga mencatat perbedaan antara jenis kelamin mungkin tidak selebar yang terlihat. 

“Anak perempuan lebih banyak bicara dan vokal tentang beberapa tantangan mereka, sedangkan anak laki-laki tidak sebanyak itu, meskipun saya pikir itu sudah berubah,” sambungnya.

Baca juga : Kesehatan Mental Terganggu, Remaja Merasa tidak Didukung Orangtua

Lebih lanjut, para peneliti di CDC mengatakan meskipun mereka menyadari beratnya masalah tersebut, mereka berharap adanya perbaikan terkini pada beberapa metrik yang diukur dalam survei.

“Kita belum sepenuhnya terbebas dari masalah. Saya yakin, kita masih mengalami krisis kesehatan mental di kalangan anak muda,” kata Dr. Kathleen Ethier, direktur Divisi Kesehatan Remaja dan Sekolah CDC. “Namun, saat kita melihat data dari tahun 2021 hingga 2023, kita mulai melihat secercah harapan.”

Beberapa peningkatan terbesar dalam perasaan putus asa yang terus-menerus selama dua tahun terakhir terjadi di kalangan siswa multiras, Asia, dan Hispanik. Ethier juga mengatakan ia senang melihat jumlah siswa kulit hitam yang melaporkan percobaan bunuh diri dalam dua tahun terakhir telah menurun.

Baca juga : Awas Dampak Perfeksionisme pada Remaja Perempuan

“Pada 2021, persentase pelajar yang menyatakan mereka mencoba bunuh diri di kalangan pemuda kulit hitam juga bertepatan dengan beberapa data yang sangat mengganggu seputar kematian akibat bunuh diri di kalangan pemuda kulit berwarna, jadi kami berharap bahwa dengan melihat semakin sedikitnya pemuda kulit hitam yang mencoba bunuh diri, kami berharap dapat melihat penurunan serupa dalam angka kematian,” kata Ethier.

Meskipun ada sedikit perbaikan, survei menunjukkan beberapa kelompok lebih menderita daripada yang lain. Sekitar setengah dari anak-anak yang mengidentifikasi diri sebagai gay, biseksual, transgender, dan queer mengatakan mengalami kesehatan mental yang buruk dalam sebulan terakhir. Kelompok ini jauh lebih mungkin melaporkan upaya bunuh diri dan mengalami kekerasan.

“Kami masih melihat kesenjangan yang sangat besar bagi kaum muda LGBTQ+ dalam hal pengalaman kekerasan dan kesehatan mental yang buruk serta pikiran dan perilaku bunuh diri. Hal ini tetap menjadi perhatian besar bagi kami,” kata Ethier.

Di sisi lain, Emanuele mengatakan jumlah anak-anak LGBTQ+ tidak mengejutkan, tetapi menyedihkan untuk dilihat. “Kaum muda dari kelompok LGBTQ+ benar-benar melaporkan tingkat tantangan kesehatan mental yang lebih tinggi karena mereka mencoba untuk bertahan hidup di tengah masyarakat yang secara umum tidak menerima mereka,” kata Emanuele. 

“Jadi maksud saya, ketika Anda harus menghadapinya secara rutin, itu merupakan tantangan nyata bagi kesehatan mental Anda.”

Emanuele juga menyoroti terkait kurangnya sumber daya penyedia kesehatan mental untuk anak-anak dan remaja, termasuk keterlibatannya orangtua.

“Kita semua ingin anak-anak memiliki semacam literasi kesehatan mental, dan kita tidak ingin itu semua datang dari TikTok,” katanya.

“Orangtua harus mulai mendidik diri mereka sendiri dengan sumber daring yang tepercaya. Berbicara kepada anak remaja untuk membuka saluran komunikasi merupakan langkah awal yang bermanfaat. Misal dengan mengatakan, ‘Bagaimana perasaanmu? Apa yang sedang terjadi?’ mampu berdialog bersama, itu salah satu hal pertama, menurut saya,” pungkas Emaneule. (CNN/Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan
dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Editor :

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *